Fasilitas pendanaan hingga perlindungan Kekayaan Intelektual (KI) merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas riset dan inovasi. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memiliki Kedeputian Fasilitasi Riset dan Inovasi yang bertugas melayani periset/peneliti di seluruh Indonesia. Tak hanya peneliti BRIN, tapi peneliti dari perguruan tinggi, industri, atau masyarakat.
Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN, Prof. Dr. Agus Haryono menjelaskan ada empat layanan utama di Kedeputian Fasilitasi Riset dan Inovasi yaitu pendanaan, perizinan, penerbitan dan Kekayaan Intelektual (KI). Fasilitasi pendanaan riset dan inovasi diberikan untuk peneliti dari BRIN, perguruan tinggi, industri, UMKM, dan startup.
Fasilitasi perizinan riset dan inovasi terutama ditujukan untuk peneliti asing melalui penerbitan surat izin peneliti asing sebagai dasar untuk mengajukan visa peneliti asing. “Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2019, peneliti asing yang melakukan riset di Indonesia harus ada izinnya, jika tidak bisa terkena pidana,” terang Agus saat menemui Business Asia pada Kamis (27/7/2023).
Selanjutnya fasilitasi klirens etik untuk peneliti Indonesia maupun peneliti asing karena semua kegiatan penelitian harus memenuhi kaidah etik dan tidak tidak boleh dilakukan sembarangan. Agus mencontohkan, jika target penelitian ke manusia harus ada surat persetujuan, jika terkait hewan coba harus sesuai kaidah.
Layanan lainnya yaitu penerbitan ilmiah berupa buku, produk audio visual, dan jurnal ilmiah. Terakhir, layanan manajemen Kekayaan Intelektual (KI ). Untuk peneliti BRIN, pihaknya melakukan pendampingan dari pendaftaran hingga penetapan atau granted baik paten maupun produk KI lainnya. Sementara untuk peneliti dari perguruan tinggi maupun masyarakat, BRIN bisa melakukan pendampingan.
Peneliti kelahiran Pamekasan, 21 Februari 1969 ini mengungkapkan, Kekayaan Intelektual yang dikelola BRIN berasal dari lima entitas yaitu LIPI, LAPAN, BPPT, BATAN, dan Ristek. Untuk Kekayaan Intelektual dari Litbang Kementerian masih tercatat di kementerian masing-masing.
“Kita sedang berkoordinasi dengan DJKI Kemenkumham agar itu bisa diintegrasikan di BRIN karena penelitinya sudah bergabung di BRIN. Jika berada dalam satu rumah, penelitinya lebih mudah melakukan komersialiasi, kontrak lisensi dan sebagainya,” terang Agus yang menempuh pendidikan sarjana di Waseda University, Tokyo pada Department of Applied Chemistry (1990-1994).
Saat ini, BRIN mengelola 2.700 paten. Paten yang sudah dikomersialkan sekitar 62 paten atau sekitar 3%. Menurut Agus, di negara-negara maju, paten yang dikomersilkan rata-rata 3-5%.
“Jumlah paten di Indonesia masih relatif kecil dibandingkan jumlah penduduk Indonesia. Hal itu menyebabkan Global Innovation Index kita relatif rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Ada pilar kekayaan intelektual yang salah satu penilaiannya itu pilar inovasi adalah dengan melihat jumlah paten yang terdaftar di negara tersebut,” terang Agus.
Karena itu, pihaknya terus mendorong para peneliti untuk mendaftarkan paten. Namun ada beberapa peneliti yang mematenkan, tanpa terlalu memikirkan apakah hasil risetnya bisa dikomersialkan. Mereka ingin melindungi hasil risetnya sambil mencari mitra industri. Namun di perjalanan, kadang mereka tidak juga menemukan mitra industri.
“Kami sedang berusaha menskrining paten-paten yang tidak berpotensi dikomersialkan untuk dilepas ke domain publik sehingga masyarakat bisa menggunakan paten tersebut tanpa perlu membayar ke kami,” ungkap Agus yang meraih gelar Doctor of Engineering dari Waseda University, Tokyo.
Hal itu dilakukan untuk mengurangi beban pemeliharaan KI yang harus dibayar pemerintah. Sebab, untuk paten granted harus ada biaya pemeliharaan per tahun sampai 20 tahun, sementara paten sederhana hingga 10 tahun.
Bagi periset, selain merupakan target kinerja, ketika paten tersebut dibeli atau dilisensi maka peneliti tersebut berhak mendapatkan royalti. Agus mencontohkan, paten ventilator HFNC yang dihasilkan para peneliti, saat pandemi banyak yang membeli hingga dalam setahun royaltinya mencapai Rp 700 juta.
“Peneliti bisa mendapatkan royalti dari hasil penelitian, tapi royalti tidak bisa dibayarkan jika tidak ada patennya. Syaratnya harus ada paten yang didaftarkan sebagai dasar untuk membayar royalti,” ungkap Agus yang pernah menjabat sebagai Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI.
Saat ini, BRIN bersama Kemenkumham, Kementerian Keuangan dan Kemenparekraf sedang membahas valuasi dari KI agar bisa dicatatkan sebagai aset. Karena paten itu nantinya bisa menjadi agunan pinjaman ke bank. Selama ini yang menjadi acuan valuasi hanya investasi yang dikeluarkan untuk riset, tanpa menilai SDM dan infrastruktur.
“Anggaran seberapa besar pun kalau penelitinya nggak pintar tidak akan jadi apa-apa. Jadi bagaimana kita memformulasikan agar valuasi paten ini melingkupi banyak aspek tidak hanya aspek investasi,” imbuhnya.
Pendanaan Startup Berbasis Riset
Pendanaan startup merupakan salah satu metode untuk mempercepat hilirisasi dan komersialisasi hasil-hasil riset. Di Indonesia, banyak skema pendanaan startup dari kementerian/lembaga. Bahkan saat ini fasilitasi startup Indonesia nomer dua terbesar di dunia.
Berbeda dengan kementerian lain, fasilitasi startup di BRIN mengharuskan startup berbasis hasil riset. Startup-nya harus ada konten riset dulu, hasil riset itulah yang dikomersialkan melalui startup.
“Itu cara kami untuk mempercepat hilirisasi tidak hanya dengan industri besar atau manca negara tetapi juga dengan pebisnis pemula. Menggaet generasi-generasi muda yang punya ide brilian untuk mengkomersialkan hasil riset,” tutur Agus yang pernah meraih penghargaan Mizuno Award dari Universitas Waseda.
Namun untuk mempertemukan calon startup dengan peneliti bukan perkara gampang. Saat awal pendaftaran startup dibuka, dari 300-500 proposal hanya sekitar 10-20% yang ada konten riset/penelitinya.
“Ini tantangan bagi kami untuk mempertemukan para startup dengan peneliti kami. Sehingga pada pembukaan berikutnya, kami melakukan seleksinya tidak mengharuskan dari awal ada penelitinya. Yang penting idenya bagus dulu, baru kita carikan penelitinya supaya nanti menjembatani,” ungkapnya.
Hal ini supaya terjadi lompatan jumlah startup, karena pada batch pertama baru ada 9 startup, batch kedua 15 startup, dan batch ketiga 63 startup. Ia berharap ada lebih dari 100 startup untuk tahun ini. Untuk setiap startup pihaknya memberikan pendanaan setahun maksimal Rp 300 juta/ tahun yang bisa diperpanjang satu tahun.
“Kita mensyaratkan harus ada periset pendamping di startup supaya risetnya jelas dan didampingi betul hingga startup ini sesuai dengan roadmap bisnisnya. Kita juga menghadirkan mentor-mentor agar startup tersebut agar bisa berkesinambungan dalam bisnisnya,” terang Agus yang pernah meraih penghargaan The Best Indonesian Young Researcher 2003 dari LIPI.
Ia pun menjelaskan tahapan yang harus dilalui startup. Setelah seleksi dan penetapan akan dilakukan proses pra inkubasi maksimal selama 6 bulan. Mereka akan diajari cara bisnis seperti pengelolaan keuangan dan sebagainya. Setelah lulus, startup akan masuk proses inkubasi dan diberikan anggaran. Masa inkubasi ini selama 2 tahun.
“Ada startup yang belum satu tahun difasilitasi BRIN sudah mendapatkan investor untuk membuat pabrik skala besar. Kalau mendapatkan investor baru, kita anggap sudah lulus. Penelitinya masih tetap mendampingi bila masih punya KI bersama dengan startup tersebut,” ungkapnya.
Anggaran berbagai skema pendanaan tersebut, terangnya, sebagian besar tidak berasal dari APBN, tapi dari Dana Abadi Penelitian yang dikelola oleh LPDP. Dana penelitian per tahun rata-rata Rp 400-500 miliar, dan bisa di-carry over di tahun berikutnya jika tidak digunakan.
Contohnya pada 2022, BRIN mendapatkan alokasi Rp 525 miliar, namun baru terpakai Rp 50 miliar. Sisanya sebesar Rp 475 miliar di-carry over di tahun ini yang alokasinya ada alokasi Rp 435 miliar, jadi totalnya hampir satu triliun.
“Kita tidak ingin anggaran ini hanya di foya-foyakan atau disebar-sebar tanpa kualitas memadai. Belanja anggaran riset itu harus belanja yang berkualitas tidak sekedar memenuhi serapan anggaran. Targetnya, tahun ini sekitar Rp 200 miliar terserap untuk berbagai skema pendanaan tidak hanya startup,” tegasnya.
Tingkatkan Kualitas Peneliti
Integrasi lembaga litbang ke BRIN, dirasakan oleh Agus, memudahkan koordinasi semua sektor penelitian termasuk pendanaan. BRIN menerima proposal tak hanya dari peneliti BRIN tapi juga perguruan tinggi, industri, dan masyarakat.
Ia mengungkapkan, dalam satu tahun pihaknya menerima proposal 6 ribuan proposal. Jika dibandingkan Filipina, mereka setahun hanya mengelola 300-500 proposal. Tapi Jepang mengelola 100 ribu proposal dan India 120 ribu proposal setahun.
“Tantangan kita adalah bagaimana meningkatkan kualitas dari 10 ribu peneliti yang ada di BRIN sehingga menghasilkan ide-ide yang dituangkan dalam proposal,” terang Agus yang dikukuhkan sebagai Profesor Riset bidang Kimia Makromolekul pada 23 Desember 2021.
Tantangan berikutnya adalah infrastruktur. Infrastruktur yang ada di BRIN sekarang terpusat di satu pintu di Deputi Infrastruktur yang bisa diakses oleh siapapun. Untuk itu harus ada mekanisme administratif yang baik agar untuk bisa mefasilitasi semua peneliti.
Dari segi anggaran. Anggaran riset dan inovasi relatif kecil sekitar Rp 6 triliun per tahun. Selain itu ada Dana Abadi Penelitian. “Karena itu kita harus menghitung, sebenarnya unit cost untuk riset itu berapa. Itu yang sedang kita formulasikan dan kaji betul, supaya anggaran riset betul-betul efektif dan efisien,” ungkapnya.
Selain itu, pihaknya berharap peneliti tidak hanya mengantungkan anggaran dari pemerintah tapi juga dari swasta. Di negara lain seperti Korea Selatan, 75 persen anggaran riset berasal dari swasta. Di Indonesia kebalikannya, anggaran riset terbesar dari pemerintah yaitu 82 persen.
“Namun, swasta tidak mungkin berinvestasi ke riset secara cuma-cuma. Kalau SDM kita belum berkualitas pasti swasta tidak mau kasih uang cuma-cuma untuk peneliti yang belum memiliki kompeten,” terangnya.
Karena itu, dengan meningkatkan kualitas peneliti secara tidak langsung nanti akan meningkatkan belanja riset dari sektor swasta. “Akan ada skema-skema yang memperbolehkan periset kami bekerja di swasta tanpa perlu digaji oleh swasta untuk melakukan kegiatan litbang di swasta,” imbuhnya.
Pengalamannya di bidang riset menjadi bekal berharga bagi Agus dalam menjalani tugas sebagai Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi. “Kebijakan-kebijakan riset dan inovasi membutuhkan orang yang pernah berkecimpung di riset. Dia jadi tahu sebenarnya kebutuhan peneliti itu apa dan apa yang perlu difasilitasi untuk periset. Itu yang saya rasakan,” pungkasnya.
Agus Haryono saat ini menjabat Deputi Bidang Fasilitas Riset and Inovasi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Plt. Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI. Ia mendapatkan gelar sarjana, magister, serta doktoralnya dari Waseda University, Jepang. Ia juga meraih penghargaan akademik tingkat internasional yaitu Outstanding Researcher Award (2001) dari Institute for Science and Technology Studies Japan dan Postdoctoral Research Award 2004/2005.